Astagfirullah

Meski Ramadhan menjadi anjuran menyambutnya dengan gembira, tapi kulihat dia masih saja meringis perih. Entahlah…! Mungkin saja dia tak memahami jika kegembiraan yang disemat untuk menyambut Ramadhan mendatangkan pahala bagi dirinya. Tapi mungkin saja dia tidak lagi memiliki alasan tepat mengapa Ramadhan perlu disambut gembira. Ataukah mungkin sesuatu datang pada dirinya yang sungguh kepedihan yang dirasakannya mampu mengalahkan rasa gembiranya kala Ramadhan tiba. Tak ada yang mengetahuinya selain dirinya bersama dengan Tuhannya.

Kini Ramadhan telah berlalu melewati separuh waktu. Tapi hari ini masih kulihat dia tetap meringis. Tetap tidak menampakkan betapa gembiranya dirinya dianugrahi oleh Allah swt bulan ramadhan. Baginya menambah pahala yang berlipat ganda, beramal, berpuasa, bertaraweh, sholat malam dijalaninya terlihat lebih sungguh-sungguh, tapi rasa gembira itu tetap tidak dinikmati dan ditampakkannya. Sedikit mengherankan… karena kesibukan orang bergembira menyambut ramadhan dan menjalaninya tak mempengaruhinya sedikitpun. Masih saja dia sibk mengurus dan membenahi perihnya.

Satu hari kudapati dirinya sedang meneteskan air mata satu persatu. Duduk tafakkur disudut masjid sendirian seakan menghitung berapa butir sudah air mata diteteskannya. Tak tahan melihatnya kuberanikan diri menghampirinya. Lalu dengan serta merta kududuk bersila didepannya sambil memegang kedua lututnya. Sedikitpun dia tidak merespon sentuhanku. Kepalanya tetap ditundukkannya sambil sekali-kali mengusap tetesan air mata yang jatuh di pangkuannya.

“Kenapa menangis wahai saudaraku” setengah berbisik aku menyapanya.

“Astagfirullah…” gumamnya setengah berbisik.

“Allahu Akbar……! Ada apa dengan engkau wahai saudaraku” kusambut kalimatnya sembari menyentuh pundaknya. Tiba-tiba rasa haru menyelimut tebal di hatiku. Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya sambil menatap dalam padaku. Aku tiba-tiba bergidik, pandangan mata itu begitu tajam seakan menusuk bola mataku mencari sesuatu.

“Sejak Ramadhan aku selalu duduk disini… dan tak satupun orang yang berani menghampiriku, tak ada yang bertanya padaku.. hanya engkau saudaraku….” tiba-tiba dia mengucapkan kata-kata itu terbata-bata.

“Maaf jika aku mengganggumu…” sahutku kemudian.

Aku lalu mengemukakan padanya tentang semua keherananku pada tingkah lakunya, pada keperihan yang mungkin dialaminya, pada ketidak gembiraannya menyambut dan menjalani Ramadhan.

“Saudaraku…. janganlah sekali-kali kita naif, terlalu banyak orang yang menyambut ramadhan dengan kegembiraan, tapi kegembiraan pada apa… bukankah mereka bergembira dengan melakukan pesta pora kala berbuka puasa, bergembira dengan suara hiruk pikuk kala sahur tiba, bergembira kala mereka berbondong-bondong memenuhi masjid-, bergembira kala mendatangi mal-mal untuk persiapan lebaran, mereka bergembira melakukannya….aku tak kuasa untuk itu saudaraku” ucap dia begitu tenang. Hatiku tiba-tiba menjadi ciut mendengarnya

“Saudaraku…bukankah kegembiraan menyambut dan menjalani ramadhan itu tidak boleh menjadikan kita lupa pada hakikatnya… bukan pada yang tampak. Bisa jadi seseorang meneteskan air mata bukan karena tidak senang akan kedatangan bulan Ramadhan, demikian pula sebaliknya, bisa jadi orang yang tersenyum kala ramadhan tiba, bukan berarti dia telah sungguh-sungguh bergembira akan kedatangan bulan Ramadhan” katanya kemudian.

Belum sempat aku bertanya padanya, dia tiba-tiba meraih tanganku, kemudian menyalaminya sambil berdiri.

“Saudaraku…. jika saja engkau bergembira karena bulan Ramadhan, bagaimana engkau menampakkan kegembiraan itu?” katanya kemudian sambil berlalu dari hadapanku.

Aku hanya berdiri melongo memperhatikan dia pergi meninggalkan aku sendiri dalam kebingungan.

One Reply to “Astagfirullah”

Leave a Reply to Michael Blackford Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *