Sopir Angkot Jakarta yang mengispirasi

Malam selalu saja memberi tawaran kisah menarik. Teringat Firman yang lelahnya dinikmati kala menjajakan kue Jalangkote Khas Bugis. Dengan sungguh-sungguh mencari rejeki dengan cara yang halal. Tidak persis sama. Tapi malam ini juga jadi peristiwa yang cukup menjadi inspirasi. Bahwa watak yang berbalut kasih sayang dan kepedulian masih tetap terjaga. Meski kasuistik, tapi sungguh-sungguh menjadi penenang jiwa dari hantaman peristiwa-peristiwa yang memiriskan hati.

Setelah menunaikan sholat maghrib, saya menuju sebuah cafe di seputaran Universitas Islam Negeri Jakarta. Mengendarai Angkot arah Ciputat-Lebak Bulus. Di dalam angkot saya baru sadar jika dikantong saya tak tersedia recehan. Saya hanya butuh Rp. 4.000,; untuk sampai cafe Whatsup tujuan saya malam ini. Sambil merogoh uang dari dompet lusuh saya yang berwarna cokelat, tiba-tiba angkot berhenti. Seorang nenek tua yang sedikit bongkok yang kuperkirakan berumur diatas 70 tahun berusaha naik keangkot dengan susah payah. Saya tak bergeming, dan tak tergerak untuk menolongnya. Saya tersentak ketika sang sopir angkot yang masih terbilang sangat muda memperingatkan nenek tersebut.

“Hati-hati Mak”. Kalimat itu membuat tangan saya bergerak reflek meraih tangan nenek tersebut membantunya menaiki angkot. “Ucapan terima kasih dari sang nenekpun tak lupa diucapkannya. Saya tiba-tiba merasa malu. Malu pada diri sendiri, malu pada sang sopir dan malu pada Tuhan. Spontanitas sikap Sopir angkot sudah menjadi cermin perilakunya yang baik. Seperti Imam Al-Gazali menyebutnya sebagai akhlaq yaitu perbuatan yang spontanitas dilakukan tanpa memikirkan terlebih dahulu.

Selang beberapa menit nenek itupun meminta angkot berhenti. Tepat di Pertigaan Jalan Pahlawan dan Jalan Juanda. Sebuah pemandangan yang menakjubkanpun kembali terjadi tepat didepan mata saya. sang Sopir Menolak ongkos sang nenek. Rupanya nenek tersebut ngotot.

“Ini rejeki kamu nak” kata sang nenek.

“Gag usah, buat nenek aja”. jawab sang sopir angkot.

Saya tak memperhatikan wajah sopir tersebut. Uang Rp. 50.000,- yang saya pegang tak merisaukan saya, apakah sang sopir memiliki kembalian atau tidak. Saya sibuk mengalahkan perasaan malu saya dengan berusaha membantu nenek tersebut turun dari angkot. Saya yakin mata saya berkaca-kaca tak kuasa menyembunyikan rasa haru yang sudah sangat lama saya tidak rasakan.

Tanpa terasa saya sudah sampai ditujuan. Turun dari angkot, menyodorkan uang Rp. 50.000,- yang disaambut senyum sopir angkot dan dengan sabar menghitung kembalian uang saya. Sayapun menerima kembalian tanpa menghitungnya. Sangat berat untuk menerima kembalian itu. Ingin rasanya membeli kebaikan hati sopir angkot lebih dari nilai Rp. 50.000,-

Hingga postingan ini saya tulis, saya belum menghitung kembalian uang dari sopir angkot. Sayangnya, saya tidak merekam peristiwa itu. Hanya sebuah foto untuk mengabadikan peristiwa inspiratif ini.

Jakarta dengan sematan yang sangat beragam dan cenderung negatif, ternyata masih menyelipkan beberapa dari sosok manusia yang tak membuang sisi kemanusiaannya.

 

2 Replies to “Sopir Angkot Jakarta yang mengispirasi”

Leave a Reply to Ismail Nurdin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *